gravatar

Kebudayaan di Jalan Desa

Desa Limusgede, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis, terletak lebih kurang 35 kilometer dari lokasi pariwisata Pangandaran. Memasuki desa ini berarti melewati sebuah lokasi perkebunan (PTPN VIII Batulawang) yang tidak terurus. Hamparan pohon cokelat tua dan jejeran pohon kelapa kurus menjadi bagian terbesar lokasi perkebunan. Di sebagian kecil lokasi itu ada juga kebun kelapa sawit percobaan, yang juga telantar.

Di sudut lain perkebunan, di dekat sebuah jembatan, teronggok gubuk tua setengah lapuk yang fungsi semulanya mungkin sebagai tempat penyimpanan sementara hasil panen perkebunan. Kali pertama datang ke situ, sekitar dua tahun lalu, saya bergumam: Indonesia mungkin terlalu luas untuk sebuah negara sehingga tidak seluruh wilayahnya bisa terkelola.

Kita, kelompok masyarakat yang biasa membaca koran pagi sebelum pukul 07.00, yang sering sok tahu, sok orang kota, dan tabiat lain sejenisnya, bisa dipastikan tidak akan pernah bisa berempati terhadap persoalan warga masyarakat semacam Limusgede. Kita selalu melihatnya dalam jarak. Itu pun dalam imajinasi sebab dalam konteks kebudayaan, sesungguhnya tidak ada jalan tembus ke sana. Bahkan, secara fisik, para pejabat lokal, seperti aparat Pemerintah Kabupaten Ciamis, pun, saya pikir, tidak terlalu hirau pada Desa Limusgede dan desa-desa lain yang sejenis. Saya berani bertaruh, bahkan pejabat setingkat sekretaris daerah (sekda) akan berpikir sejuta kali untuk datang ke sana secara resmi. Mungkin camat pun enggan datang, bahkan untuk sekadar mampir.

Apa yang menyebabkan desa semacam Limusgede tidak mungkin dikunjungi penggede? Jawabannya tentu kompleks. Salah satunya, saya pikir, adalah masalah jalan. Lihatlah, jalan menuju Limusgede rusak sangat parah. Ia bahkan lebih layak disebut sebagai sungai kering ketimbang jalan. Akibatnya, jarak kampung yang hanya 35 kilometer dari Pangandaran itu harus ditempuh dalam waktu 1,5 jam. Limusgede seperti berada di seberang lautan. Bukan hanya jarak

Persoalan terkait jalan sesungguhnya lebih rumit daripada yang kita bayangkan. Ia bukan hanya soal jarak, melainkan juga menyangkut masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain. Karena tidak ada jalan yang bagus, harga tanah di Limusgede, misalnya, jauh tanah ke langit jika dibandingkan dengan di Pangandaran. Di Limusgede, harga tanah masih ada yang Rp 20.000 per bata (14 meter persegi), padahal di Pangandaran ada yang mencapai kisaran Rp 7 juta per bata.

Jalan dalam arti fisik ke pelosok kampung yang rusak parah pastilah pula berakibat terganggunya distribusi bahan pokok, akses kesehatan, pendidikan, dan seterusnya. Televisi boleh saja telah masuk ke wilayah itu dan membuat warganya mengetahui berbagai informasi dari kota-kota besar di negeri ini, juga dari negeri-negeri lain. Namun, pengetahuan yang didapatkan melalui teknologi informasi tersebut meniscayakan mereka jadi kian terpencil.

Mereka memang bisa berkelana dalam waktu, menikmati informasi dan hiburan di negeri dalam kaca itu, tetapi mereka tidak bisa mengalaminya dalam ruang. Bagaimana mereka bisa tahu Jakarta dengan cepat secara fisik, misalnya, jika menuju kota kecamatan saja harus ditempuh dalam hitungan jam, dengan "kondisi tubuh babak belur" karena jalan berlubang. Informasi yang mereka dapatkan di bilik rumahnya, dengan begitu, justru malah kian menjauhkan jarak dirinya dari informasi itu sendiri.

Saya yakin, dalam kurun waktu tertentu, pada model masyarakat terisolasi dan terpinggirkan semacam itu akan muncul penyakit psikologis dalam tubuh mereka: mungkin semacam ketertekanan hasrat, akumulasi kekecewaan, dan lain-lain yang karena berbagai hal terepresi ke ambang bawah sadar kolektif.

Penyakit ini akan sangat rentan terhadap pengaruh luar. Bawalah sebuah "bendera" ke sana, berilah mereka harapan, dan tambal jalannya yang berlubang itu. Maka, kemungkinan mereka akan menjadi pengikut setia. Mereka rindu diayomi, tetapi pemerintah hanya pintar menyusun alibi. Di musim pemilu, para politisi hanya bisa mengirim poster potret dirinya, yang, sedikit banyak, hanya menipu. Membangun dari belakang

Tampaklah dari uraian di atas bahwa rusaknya jalan dalam pengertian fisik bisa berarti tertutupnya jalan metaforis, jalan kebudayaan. Penguasa tidak bisa lagi berempati. Hubungan silaturahim pun terputus. Kesenjangan masyarakat kota versus desa juga kian menganga. Bisa saja keduanya melangkah ke arah berlawanan. Daerah terpencil semacam Limusgede menjadi ruang belakang yang ditinggalkan. Apalagi, jika musim hujan seperti saat ini, lubang menganga di sepanjang jalan itu berubah menjadi kubangan. Siapa pejabat mau becermin di atas kubangan itu?

Barangkali hanya pejabat gila yang mau mengotori baju safarinya, melepaskan atribut kebesarannya, dan masuk ke dalam kubangan tersebut. Namun, kita memang rindu pemimpin gila seperti itu, pemimpin yang berani membuat kebijakan tidak populis: membangun negara dari ruang belakang.

Artinya, desa-desa disentuh dan diakrabi secara fisik dan metaforis, dengan teknologi juga budaya. Pada level daerah, gubernur dan bupati, misalnya, harus lebih banyak menetap dan menggalakkan pembangunan desa daripada mengurus kota yang sebenarnya telah bisa membangun diri sendiri!

Maka, mohon maaf Pak Gubernur dan Pak Bupati, bagaimana jika Anda punya kantor di desa semacam Limusgede? Ketahuilah, kepala desa hanya utusan birokrasi. Ia tidak memiliki kuasa dan kemampuan apa pun untuk membangun desanya!

OLeh: ACEP IWAN SAIDI Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB; Sedang Berkebun di Limusgede

gravatar

aneh juga dengan para pengambil kebijakan di jawa barat
padahal saat musim pilkada mereka gencar sekali memasang banner, baliho dll
tetapi setelah terpilih mereka lupa...
( padahal di bannernya jelas sekali janji yang mereka buat sendiri)
mungkin amnesia karena mereka juga lupa untuk menertibkan apa yang mereka pasang