gravatar

GENG MOTOR DIUSULKAN MASUK SLB

Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat Wahyudin Zarkasyi mengusulkan agar para siswa yang terindikasi terlibat geng motor dibina sebagai siswa inklusi.

Artinya, para siswa tersebut harus didampingi psikolog di sekolah. Ini karena mereka masuk dalam kategori tunalaras.Tunalaras adalah individu yang berperilaku menyimpang karena tidak bisa mengontrol emosi dan kontrol sosial.“Atau jika masih berbuat menyimpang, para siswa tersebut sebaiknya dipindahkan atau dititipkan ke sekolah luar biasa (SLB),” kata Wahyudin saat ditemui di kantornya,Jalan Dr Radjiman, Kota Bandung,Rabu (27/10).

Menurut Wahyudin, para siswa yang terindikasi terlibat geng motor, bahkan sudah bertindak meresahkan masyarakat, bukan lagi siswa yang dapat dididik dengan metode konvensional.“Mereka termasuk pada anak berkebutuhan khusus yang harus dibina sama halnya dengan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya.” ”Mereka harus ada pendamping saat melakukan kegiatan belajar,” ungkapnya. Dia memaparkan,tindakan kriminal yang dilakukan oleh para siswa tersebut disebabkan oleh kurangnya kecerdasan emosional.

Hal itu diakibatkan oleh minimnya pendidikan berkarakter dari sekolah. “Sehingga mereka melakukan komunikasi dengan perbuatan jahat. Mereka mengaktualisasi dirinya dengan kekerasan. Karena menurut mereka di sanalah cara mereka membuktikan dirinya,” jelas Wahyudin. Menurut dia, saat ini Pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah menyediakan sekitar 200 sekolah yang menggelar pendidikan inklusi dengan bantuan keuangan khusus dari APBD Jabar.

Para geng motor yang masih berstatus siswa dapat dimasukkan ke sekolah-sekolah tersebut. “Jadi, nantinya para siswa tersebut mendapat pendampingan khusus,”tandas Wahyudin. Sementara itu, psikolog dari Universitas Islam Bandung (Unisba), Dewi Sartika Akbar, mengatakan meski para siswa yang terlibat geng motor bisa saja disebut individu tunalaras, namun mereka tidak dapat digolongkan sebagai siswa inklusi.

Sehingga,mereka tidak mungkin dimasukkan dalam golongan siswa luar biasa. “Tapi, mereka memang membutuhkan pendampingan. Si pendamping harus berupaya agar si siswa bisa menghindari kegiatan geng motornya dengan melibatkan siswa kepada kegiatan positif. Pendampingannya lebih bersifat pribadi,” ujar Dewi kepada SINDO. Menurut dia, para siswa geng motor tersebut merupakan remaja yang memiliki konsep diri yang lemah.

Akibatnya, mereka bisa dengan mudah terpengaruh oleh kelompok yang memiliki influence yang kuat. “Mudah terpengaruh memang sifat dasar dari para remaja. Terlebih bagi remaja yang konsep diri lemah. Jadi, mereka terstimulasi oleh lingkungan yang pengaruhnya sangat kuat,” jelas Dewi. Untuk menghindari pengaruh geng motor, sambung Dewi, diperlukan komitmen kuat dari orang tua dan pihak sekolah.

Komitmen tersebut bisa dalam bentuk pengawasan. “Pengawasan utama memang dari orang tua, sementara sekolah harus dapat mengembangkan karakter si siswa,” pungkas Dewi. Sementara itu, Ketua Ikatan Motor Indonesia (IMI) Jawa Barat Oke Djundjunan mengaku tidak setuju dengan usulan Disdik Jabar untuk memperlakukan siswa yang terindikasi geng motor secara inklusi, bahkan dimasukkan ke SLB. “Sekarang gini aja.Kalau sampe ke SLB, ini bukan langkah yang logis.

Saya tidak setuju.SLB itukan untuk orang-orang yang terbelakang.Dan orang yang terbelakang itu kan bisa dari berbagai faktor, misalnya gen, keturunan, dan lainnya.Nah,sekarang mereka (anggota geng motor) itu kanbukan yang terbelakang,” ungkap Oke saat dihubungiSINDO,tadi malam. Begitu juga dengan upaya pendampingan psikolog bagi siswa yang terindikasi terlibat geng motor, menurut Oke, hal itu tidak akan bisa diterapkan. Ini karena dalam sistem pengajaran psikolog ini ada semacam terapiterapi yang harus dijalani oleh siswa bersangkutan.

Namun, dalam terapi itu tetap harus melibatkan orang tua. “Kalau kami dari IMI hanya bisa memberikan wawasan dan ajakan-ajakan kegiatan untuk berbuat lebih positif.Kalau bagian yang menindak itu adalah polisi,” tandas Oke. (krisiandi sacawisastra/ slamet parsono)
sumber : Sindo